Beberapa
waktu yang lalu tatkala pribadi bergeliat meleburkan diri dalam peradaban
virtual yang dipenuhi hiruk pikuk warganet. Pribadi mendadak diingatkan salah
satu seputar sebuah nostalgia sandiwara oleh salah satu teman melalui
postingan. Dalam postingannya ia memosting sebuah foto berisi uraian singkat
kerajaan Majapahit dari awal didirikan oleh Raden Wijaya hingga era kemunculan
Gajah Mada dalam menumpas Pemberontakan Ra Kuti. Sesuai dengan dugaan pribadi
bahwa inspirasi teman saya membuat postingan tersebut merujuk pada cerita drama
kolosal Tutur Tinular 1999 yang dipermak dari cerita novel penulis legendaris
S. Tidjab.
Sudah
bukan menjadi rahasia bagi kalangan yang terlahir paling akhir di tahun 90-an tentu
akan akrap dengan drama serial Tutur Tinular hasil permakan S. Tidjab. Dalam
hal ini penulis sendiri yang terhipnotis dengan jalannya alur ceita yang begitu
istimewa. Bagaimana bukan istimewa melalui seri kolosal tersebut tersaji sebuah
cerita awal perjalanan Kerajaan Majapahit. Sebagai salah satu kerajaan yang
menjadi inspirasi para tokoh bangsa dalam membangun sebuah identitas NKRI sejak
kemerdekaan digaungkan ditahun 1945.
Kisah
heroik kepahlawanan Raden Wijaya Cs tersebut oleh S. Tidjab dibingkai manis
dengan tambahan fiktif romanitika asmara Arya Kamandanu. Seorang senopati
Perang Majapahit pemilik pedang sakti Naga Puspa yang beberapa kali menemui
kegagalan dalam menjalankan asmara dengan beberapa wanita yang ia cintai. Nari
Ratih dan Mei Shin itulah dua sosok wanita terkasih Arya Kamandanu yang
ternodai status kewanitaannya dari seorang pria yang tidak lain kakaknya
sendiri bernama Arya Dwi Pangga, seorang penyair yang pada akhirnya menjadi
pendekar sakti berjuluk Pendekar Syair Berdarah yang mempunyai ajian Kidung
Pamungkas dengan syair-syair yang begitu puitis. Belum lagi tokoh pelengkap
lain dengan karakter nyentrik semacam; Empu Tong Bajil dengan ajian Segara Geni
yang tewas terkena Keris Mpu Gandring, Dewi pemilik ajian tapak wisa yang pada akhirnya
tewas atas ilmunya sendiri, hingga Sakawuni pendekar wanita “badas” yang pada
ahirnya menjadi kekasih Kamandanu.
Pada
kesempatan kali ini penulis bukan bermaksud menguraikan jalan panjang cerita
berjudul Tutur Tinular sebagaimana diurai singkat diatas. Jika kids generasi
jaman now ingin mengetahui jalan panjang romantika kisah legendaris tersebut
dapatlah dilihat di Youtube atau beberapa situs online yang kerap disebar dalam
peradaban virtual. Hanya saja ketika mendengar istilah film Tutur Tinular yang
berlatar di masa akhir kerajaan Singosari era Kertanegara hingga masa awal
kerajaan Majapahit terbentuk, ada sebuah hal yang menjadi unik untuk dibahas. Terutama
jika dikaitkan dengan konteks peradaban Ke-Indonesiaan di era “Now” yang memang
menjadi lanjutan “Old” peradaban kuno Majapahit.
Pertama
tiada lain adalah fenomena Hoax dimana kini bak santapan harian. Apalagi
isu-isu murahan yang tak jelas sumbernya
yang terpampang dalam peradaban warganet, tentu sudah membudaya kian
hari. Keuntungan dari sebuah isu murahan hoax yang menjurus pada memperkaya
diri melalui klik bait dan portal sejenis, Dalam kasus lain isu-isu provokasi
bergenre hoax juga kerap di politikisasi sebuah identitas untuk melambungan dan
menggalang dukungan atas sebuah identitas tersebut.
Inilah
yang seakan mengingatkan pada cerita sepak terjang Majapahit dalam serial Tutur
Tinular. Beberapa kalangan awam seperti peribadi semula menganggap Kerajaan
Majapahit hanya sekedar kerajaan hindu adidaya dengan tokoh terkenal semacam;
Raden Wijaya, Hayam Wuruk, hingga Gajah Mada. Namun ternyata dalam perjalanan
membangun tatanan pemerintahan Majapahit, sebagaimana dipermak S. Tidjab dalam
ceritanya yang bermetamorfosis menjadi tontonan film serial. Disana Terdapat
alur lain yang sarat dengan sebuah peneguhan kepentingan suatu identitas. Salah
satunya termasuk berbagai upaya busuk merong-rong sebuah birorasi hingga
menggulingan pemerintahan yang sah, dalam hal ini birorasi Kerajaan Majapahit.
Sebagaimana
dipaparkan oleh para pengamat sejarah yang idenya tersebar di jagat virtual
yang bersumber pada kitab para empu Majapahit semacam Paraton yang menceritakan
beberapa kisah raja-raja majapahit. Disana diatakan bahwa pemberontakan para
tokoh ternama semacam Ranggalawe, Lembu Sora, Nambi, atau Gajah Biru bukan
sekedar sebuah tindakan makar pada kebijakan Prabu Raden Wijaya beserta
birokrasinya, melainkan tentu ada sebuah api penyulut yang mengpropoganda serta
menghasut tokoh-tokoh tersebut untuk melaukan sebuah tindakan makar. Hingga
fenomena persekusi main hakim sendiri kerap dijumpa pada film beberapa adegan
di film tersebut.
Dalam
film Tutur Tinularnya S Tidjab disebutkan bawa tokoh utama penebar benih
propoganda busuk tersebut adalah Dyah Halayuda yang sangat berambisi menjadi
seorang patih majapahit. Hingga ia berhasil menjadi patih di era raja
Kertarajasa berkat kepiawaiannya menebar hoax bahwa Patih Nambi yang kala itu
di Lumajang bermaksud menggalang kekuatan untuk memberontak pada Majapahit.
Dalam sejarah Majapahit sebagaimana salah satunya dipapar dalam Paraton memang
tidak disebut siapa nama sang penghasut tersebut, hanya tertulis redaksi
seorang berjuluk “Maha Patih”. Penisbatan Dyah Halayuda pada film Tutur Tinular
sebenarnya merupakan penafiran para sejarawan terkait siapa itu Maha Patih sebagaimana
disebut dalam Paraton, mengacu pada fakta sejarah pula bahwa nama Dyah Halayuda
merupakan nama patih Majapahit yang menggantikan posisi Patih Nambi yang
dianggap pembelot.
Adegan
sebagaimana diatas inilah yang menjadi daya tarik penafsiran bebas dengan
fenomena sosial ke-Indonesiaan diera kekinian. Negara Indonesia sendiri sejak
merdeka di tahun 1945 jika difiir-fikir mempunyai kesamaan dengan perjalanan
Majapahit menapaki awal perjuangan membentuk sistem kerajaan. Aksi makar para
bberapa tokoh Majapahit yang awalnya merupakan
pahlawan Majapahit dalam membentuk sebuah kesatuan. Tentu hal itu mirip
dengan fenomena makar yang terjadi di NKRI sejak proklamasi 1945, banyak para tokoh
penggede RI yang justru endingnya dianggap makar, sebut saja; Tan Malaka,
Kartosoewiryo, Sultan Hamid II, Amir Syarifuddin hingga DN Aidit. Banyak faktor
politis kala itu yang menjadi sebab berbagai pemberontakan di NKRI semacam;
G30S PKI, DII-NII, Persemesta, APRA, RMS, hingga terkini adalah OPM yang
kembali muncul ke permukaan.
Semoga
saja aksi hoax tak karuan di era “now” pasca pecahnya orde baru menuju era demokrasi dapat perlahan teratasi,
seperti kisah Majapahit kala yang berakhir Happy Ending dengan terungkapnya
kebusukan Maha patih pasca pemberontakan Ra Kuti berlangsung, hingga dirinya
harus menimpa hukuman mati oleh pejabat kehakiman majapahit. Tentu saja
diperlukan semangat keteguhan semacam Gajah Mada dengan sumpah pallapa.
1. Hoak
2. Perskusi
3. Perebutan Kekuasaan
Blog Archive